Buku : Aminah Sjoekoer (1928) |
Catatan khusus:
Hasil dari tulisan Ellie Hasan
Gambar Buku " Aminah Sjoekoer di Atas Kapal Nederlands (1928)" diambil dari Googreads
Sebagian besar orang di kota Samarinda hanya mengenal namanya karena diabadikan sebagai salah satu nama jalan di kota ini. Mereka mengira beliau adalah satu dari pahlawan nasional wanita karena jalan yang memakai nama beliau berdekatan dengan jalan yang memakai nama pahlawan nasional wanita seperti Kartini dan Dewi Sartika.
Segelintir mengenalnya sebagai wanita keturunan Indo Nederland yang menarik karena perannya dalam pendirian sekolah pertama di Samarinda dan dedikasinya sebagai seorang guru di kota ini.
Nama aslinya yang keluarga kami ketahui adalah Atje Voorstad. Anak beliau, Hj. Hariati binti M. Yacob, meyakini bahwa ‘Voorstad' adalah tak lain dari nama belakang atau nama keluarga dari Atje.
Tak ada yang kami ketahui tentang Atje Voorstad sebelum beliau tinggal di Samarinda. Kami tidak tahu apakah beliau murni berdarah Belanda atau adalah keturunan Belanda. Kemungkinan beliau adalah seorang peranakan Belanda, terlahir di Palembang, 20 Januari 1901.
Mungkin, cinta yang membawa Atje sampai ke Samarinda.
Entah tahun berapa, Atje dibawa oleh kekasihnya bernama Raden Rawan dari Jakarta (ada pula yang menyebut dari Semarang) ke Samarinda. Raden Rawan berdarah Banjar dari pihak ibunya. Karena perkawinan, Atje yang disebut-sebut beragama Katolik kemudian memeluk agama Islam dan oleh Raden Rawan diberi nama Aminah. Dengan Raden Rawan Aminah melahirkan seorang anak perempuan.
Namun sayang, rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Aminah diceraikan oleh Raden Rawan, dan dipisahkan oleh putrinya. Kemungkinan ada kekhawatiran dari Raden Rawan dan keluarga bahwa latar belakang kekristenan Aminah akan mempengaruhi putrinya, sehingga nama asli putri mereka pun dirubah oleh mantan suami beliau, dari Mariati menjadi Fatimah.
Lalu Aminah bertemu dengan Muhammad Yacob bin Haji Muhammad Saleh.
Yacob adalah pegawai di kantor milik Belanda. Ia berpendidikan dan aktif di masyarakat yang membuatnya terpandang. Mungkin dengan gairah yang sama akan pentingnya pendidikan di Samarinda kemudian Aminah bersama dengan Yacob merintis Meisje School yang kemudian menjadi Sekolah Kepandaian Puteri (SKP), berlokasi di Yacob Steg (Jalan Yacob, sekarang Jl. Mutiara). Mereka menikah, dan Aminah dikenal dengan sebutan Mevrou Yacob (Nyonya Yacob). Tidak jelas apakah mereka menikah sebelum atau sesudah berdirinya Meisje School. Aminah dan Yacob dikaruniai seorang putra bernama Hermas (meninggal) dan seorang putri yang diberi nama Hariati yang lahir pada tahun 1929 di Samarinda.
Namun sayang, lagi-lagi perkawinan Aminah tidak berlangsung lama.
Aminah diceraikan oleh Yacob dan dipisahkan dengan putri keduanya ini. Kekhawatiran yang sama menjadi penyebab dipisahkannya Aminah dengan putrinya, latar belakang kekristenan Aminah dikhawatirkan mempengaruhi tumbuh kembang sang putri. Hariati sempat diasuh oleh saudari Yacob, Salmah. Namun karena mereka khawatir Hariati direbut kembali oleh Aminah karena beliau saban hari mencoba menemui putrinya yang saat itu masih berusia 2 tahun, Hariati kemudian dilarikan ke Balikpapan melalui jalan Samarinda - Sanga-Sanga – Balikpapan. Kemudian Hariati diasuh oleh saudara Yacob yang paling tua, H. Mansyur yang bekerja di Pertamina Balikpapan.
Aminah sempat sangat depresi karena selalu terpisah dengan putri-putrinya dan tak dapat melihat mereka.
"Ibu ikam tu dulu hampir gila, saban hari menangis" ujar seseorang yang menceritakan kisah ini kepada Hariati.
Ketika mengetahui putrinya diasuh oleh keluarga Yacob di Balikpapan, Aminah terus berusaha mencari sang putri. Seringnya Aminah pulang pergi ke Balikpapan membawanya bertemu dengan Sjoekoer. Mereka kemudian menikah dan dikaruniai 10 orang anak yang hanya 4 orang diantaranya yang hidup: Saniah, Sabariah, Lasiah, dan Armansyah.
Sepanjang hidup Ibu Aminah di Samarinda, beliau aktif mengajar baik di sekolah formal seperti SD Permandian (sekarang SD Negeri berlokasi dekat kantor pusat PDAM), Sekolah Kepandaian Puteri (SKP), dan sebagai seorang guru privat. Selain mendatangi murid-murid dari rumah ke rumah, beliau juga menerima murid-murid untuk belajar di rumahnya di seputaran Jl. Diponegoro Samarinda.
Di antara murid beliau adalah Ibu. Hj. Lasiah Sabirin, aktivis organisasi Aisyiah dan perintis Badan Kerjasama Organisasi Wanita kota Samarinda dan Ibu Hj. Jumantan Hasyim, seorang tokoh aktivis wanita di kota Samarinda yang pada jamannya dikenal sebagai orator ulung dan isteri dari mantan Walikota Samarinda Bp. Anang Hasyim. Ibu Hj. Lasiah belajar bahasa Belanda dengan Ibu Aminah, sedangkan Ibu Hj. Jumantan adalah murid Ibu Aminah di Meisje School (Sekolah Kepandaian Puteri).
Ibu Aminah berperawakan tinggi semampai dengan postur tubuh yang tegap. Berhidung mancung, berkulit putih, dan rambut yang gelombang. Kesehariannya beliau sering ber-‘tapih kurung’, berkebaya dengan pilihan warna lembut dan seringnya warna putih menjadi kesukaan beliau. Rambut beliau yang panjang dikuncir dan kunciran ini kemudian digelung. Beliau memakai tas wanita berwarna hitam yang seringnya beliau kepit di lengan.
Beliau selalu tampak sehat. Meskipun di Samarinda sudah ada becak sebagai transportasi umum, beliau tetap memilih berjalan kaki dari satu rumah ke rumah lain untuk mengajar privat bagi anak-anak murid beliau.
Dalam ingatan Hj. Lasiah Sabirin yang pernah diajar oleh Ibu Aminah, beliau sebagai seorang guru adalah guru dengan pribadi yang sangat lembut keibuan.
Dalam ingatan Mama, beliau adalah pribadi yang ramah dalam bergaul karena senang menyapa.
Dalam ingatan anak-anak Hariati - mereka menyebut Aminah ‘Nenek Belanda’ - beliau disiplin dan tegas. "Kami rancak takutan mun Nenek Belanda datang, takut dihukum".
Bertahun-tahun kemudian, Ibu Aminah akhirnya berhasil bertemu kembali dengan putri-putrinya, yaitu Fatimah dan Hariati. Ibu Aminah sering datang ke rumah Hariati untuk mengunjunginya dan melihat cucu-cucunya, anak-anak dari Hariati.
Ketika putri Ibu Aminah dengan Sjoekoer, Saniah yang menikah dengan seorang lelaki berdarah Berau pindah ke Jakarta, Aminah pun berkeinginan ikut dengan mereka. Alasan Aminah untuk kembali ke Jakarta adalah untuk menemukan saudara-saudari kandungnya yang waktu Aminah ke Samarinda konon mereka masih tinggal di sana.
Sebelum Aminah meninggalkan Samarinda, beliau berpamitan dengan seluruh kenalan beliau di Samarinda.
Aminah kemudian tinggal di Jakarta bersama putrinya Saniah dan anak-anaknya yang lain. Namun sayang, tidak sempat beliau menemukan kembali sanak saudaranya dan hanya sekitar tiga bulan di Jakarta beliau meninggal, disebut-sebut karena kanker/tumor payudara.
Beliau wafat pada tanggal 3 Maret 1968 pada usia 67 tahun. Dua tahun setelah beliau dikebumikan di Jakarta, beliau kemudian dipindahkan untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Samarinda pada masa Walikota Kadrie Oening, yang rupanya beliau pernah menjadi murid Ibu Aminah. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional di Samarinda dengan upacara layaknya seorang pahlawan.
***
Bagaimana pun kisah hidup Ibu Aminah yang sarat dengan drama, ingatan kami kepadanya adalah ingatan akan dedikasi beliau mengajar untuk perkembangan pendidikan awal di Samarinda.
Catatan ini dikumpulkan dan ditulis oleh Ellie Hasan pada tahun 2013 dengan penuturan bersumber dari:
- Alm. Hj. Hariati binti M. Yacob dengan Atje Voorstad (lahir 1929), istri dari K.H. A. Sani Karim. Hariati menyebut Aminah dengan sebutan “Ibu Aminah”.
- Alm. Hj. Lasiah Sabirin binti H. Imran Saleh, mengenal akrab sosok Ibu Aminah.
- Alm. Hj. Marsidah (Mama), kemenakan M. Yacob.
- Alm. Ibu Hj. Salbiah Hadjazi, Kepala Sekolah TK. Al Falah Samarinda, pengasuh dan pembimbing keempat piut Ibu Aminah.
Animasi © Galeri Samarinda Bahari menggunakan tool Deep Nostalgia dari aplikasi MyHeritage dan video editor inShot.
Foto asli milik dan masih bersama keluarga Alm. Hajjah Hariati binti M. Yacob. Pemindaian foto dilakukan pada 2013 dengan sepengetahuan pihak keluarga.
Kegiatan ini guna memperkaya catatan terkait sejarah di Kota Samarinda. Non-profit.
Lebih jauh tentang Galeri Samarinda Bahari sila mengunjungi akun Instagram Galeri Samarinda Bahari.
==***==
Dari Wikipedia bahasa Indonesia (ensiklopedia bebas)
Aminah Sjoekoer (lahir di Palembang, 20 Februari 1901 – meninggal di Jakarta, 3 Maret 1968 pada umur 67 tahun) adalah tokoh wanita keturunan indo-Belanda, yang memperjuangkan pentingnya setaraan pendidikan untuk kaum wanita di zaman penjajahan kolonial Belanda, yang bernama asli Atje Voorstad, pendiri Neisjes School, sekolah untuk kaum wanita di Samarinda Kalimantan Timur sekitar tahun 1928. Tak dibesarkan di Samarinda, Atje datang ke Samarinda bersama Raden Rawan, suami pertamanya. Raden Rawan merupakan seorang laki-laki yang mempunyai darah Banjar dari pihak ibunya dan besar di Jakarta. Dari pernikahannya bersama dengan Raden Rawan ini, Atje dikaruniai seorang anak perempuan. Pada saat pindah ke Samarinda, Atje menjadi seorang mualaf dan mengganti namanya menjadi Aminah. Namun, pernikahannya bersama dengan Raden Rawan tak berlangsung langgeng dan memutuskan untuk berpisah.
Atje kemudian menikah dengan seorang pria bernama M. Yacob. Yacob merupakan seorang pegawai kantor. Bersama dengan suaminya ini, Aminah mendirikan Meisje School yang kemudian menjadi Sekolah Kepandaian Putri (SKP) yang berada di Yacob Steg (sekarang bernama Jalan Mutiara). Sekolah yang dirintisnya ini menjadi counter kepada intervensi Kolonial Belanda (1928) yang mengambil alih Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Ningrat Pribumi). Dari pernikahannya ini, Aminah melahirkan dua orang anak. Namun, lagi-lagi Aminah berpisah dengan suaminya.
Mengarungi bahtera keluarga untuk ketiga kalinya, Aminah dinikahi oleh seorang pria bernama Sjoekoer dan mendapatkan penambahan nama suaminya di belakang namanya. Bersama dengan Sjoekoer ini, Aminah semakin giat mengajar. Aminah Sjoekoer meninggal di Jakarta pada tanggal 3 Maret 1968 dan dikebumikan di sana. Namun, pada saat Kadrie Oening menjabat sebagai Wali kota Samarinda, jasad Aminah Sjoekoer dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan yang berada di Jalan Pahlawan Samarinda.
Sumber:
0 comments:
Post a Comment