![]() |
demo tanah |
Di balik gemerlap narasi kemajuan, ada kisah pilu ribuan warga lokal yang merasa tanah mereka “dijajah” oleh otorita dan kepentingan besar. Kata “jajah” di sini bukan sekadar istilah sejarah, melainkan cerminan nyata dari perasaan terpinggirkan, kehilangan hak, dan terancamnya ruang hidup masyarakat adat dan lokal. Demonstrasi warga di tahun 2024 ini menggema hingga ke pemerintah Jakarta, menuntut keadilan atas tanah yang telah diwariskan turun-temurun.
Dari Klaim Sepihak hingga Demonstrasi Massal
Sejak diumumkan sebagai lokasi ibu kota baru, kawasan IKN menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antara negara, perusahaan, dan masyarakat lokal. Banyak warga, terutama masyarakat adat seperti Suku Balik dan Paser, mendapati lahan yang mereka tempati dan kelola secara turun-temurun tiba-tiba dipatok, diklaim, atau bahkan diambil alih untuk kepentingan proyek IKN tanpa sosialisasi dan pelibatan yang memadai.
Dari Klaim Sepihak hingga Demonstrasi Massal
Sejak diumumkan sebagai lokasi ibu kota baru, kawasan IKN menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antara negara, perusahaan, dan masyarakat lokal. Banyak warga, terutama masyarakat adat seperti Suku Balik dan Paser, mendapati lahan yang mereka tempati dan kelola secara turun-temurun tiba-tiba dipatok, diklaim, atau bahkan diambil alih untuk kepentingan proyek IKN tanpa sosialisasi dan pelibatan yang memadai.
Warga di kawasan IKN turun ke jalan. Mereka menuntut kejelasan status tanah, penghentian intimidasi dan kriminalisasi, serta pembayaran ganti rugi yang adil. Demonstrasi ini bukan sekadar protes, melainkan jeritan hati masyarakat yang merasa tanahnya “dijajah” oleh otorita atau kepentingan investor.
Antara Regulasi dan Realita di Lapangan
Otorita IKN, sebagai lembaga khusus yang dibentuk untuk mengelola pembangunan dan tata kelola IKN, memegang peran sentral dalam penanganan isu pertanahan dan ganti rugi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2023, otorita ini memiliki kewenangan khusus dalam perencanaan, pengelolaan, dan penyelesaian sengketa pertanahan di wilayah IKN.
Secara teori, Otorita IKN bekerja sama dengan Kementerian ATR/BPN, pemerintah daerah, dan lembaga terkait untuk melakukan inventarisasi, verifikasi, dan pengelolaan klaim pertanahan. Mereka juga membentuk Satgas Pertanahan IKN untuk menangani sengketa dan konflik lahan. Prinsip yang diusung adalah keadilan, transparansi, dan perlindungan hak masyarakat. Namun, di lapangan, implementasi kebijakan ini masih jauh dari harapan warga.
Banyak warga hanya memiliki dokumen administratif tingkat desa seperti Surat Keterangan Tanah (SKT) atau bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang seringkali tidak diakui dalam proses pengadaan tanah oleh otorita atau perusahaan. Akibatnya, posisi tawar masyarakat menjadi sangat lemah, dan mereka rentan terhadap penggusuran tanpa ganti rugi yang layak.
Suara Warga dalam Demonstrasi
Slogan “Jangan Jajah Kami!” yang diusung warga dalam demonstrasi di Penajam Paser Utara bukan sekadar retorika. Ini adalah ekspresi kekecewaan dan kemarahan atas kebijakan yang dianggap lebih berpihak pada investor dan otorita, ketimbang masyarakat lokal. Dalam aksi yang diikuti ribuan orang, warga menuntut:
- Kepastian hak atas tanah yang telah mereka tempati secara turun-temurun
- Penghentian intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan tanahnya
- Pembayaran ganti rugi yang adil dan transparan
- Pengakuan atas hak-hak masyarakat adat dan lokal
Demo ini juga menyoroti minimnya pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Banyak warga merasa tidak pernah diajak bicara atau dilibatkan dalam konsultasi publik sebelum tanah mereka dialokasikan untuk proyek IKN .
Dampak Sosial
Pengalihan tanah untuk pembangunan IKN menyebabkan relokasi atau penggusuran masyarakat lokal. Bagi masyarakat adat, kehilangan tanah berarti kehilangan identitas, sejarah, dan hubungan spiritual dengan leluhur. Proses ini juga memicu konflik sosial, baik antara warga dengan otorita maupun antar-warga sendiri akibat ketidak-jelasan status lahan.
Masuknya pendatang baru ke kawasan IKN membawa potensi akulturasi budaya, namun juga menimbulkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Standar hidup yang berbeda dan akses sumber daya yang timpang dapat memperbesar jurang sosial dan memicu kecemburuan.
Dampak Ekonomi
Dari sisi ekonomi, pembangunan IKN memang meningkatkan nilai tanah dan properti di sekitar kawasan. Namun, hanya segelintir warga yang memiliki bukti kepemilikan formal yang bisa menikmati kompensasi layak. Sebaliknya, mayoritas masyarakat lokal yang tidak memiliki sertifikat resmi justru semakin sulit mendapatkan akses terhadap tanah dan perumahan.
Peluang ekonomi baru memang terbuka, seperti lapangan kerja dan pertumbuhan sektor jasa. Namun, tanpa perlindungan dan pemberdayaan yang memadai, masyarakat lokal berisiko termarginalisasi dan hanya menjadi penonton dalam arus investasi yang didominasi pihak luar.
Demo tanah di IKN adalah cermin dari kegelisahan masyarakat yang merasa tanahnya “dijajah” oleh otorita dan kepentingan besar. Isu ini bukan sekadar soal ganti rugi, tapi juga soal keadilan, pengakuan hak, dan masa depan ruang hidup masyarakat lokal. Jika pemerintah dan otorita ingin membangun IKN sebagai simbol kemajuan bangsa, maka pembangunan itu harus berlandaskan keadilan sosial, perlindungan hak masyarakat lokal, dan keterlibatan aktif mereka dalam setiap proses pengambilan keputusan.
sumber berita: kaltimkece, tempo-otorita, tempo-tanah